Papua, Jayapura 12 November 2015 dalam perayaan HAI 2015 (Hari
Aksara International) yang diadakan di Jayapura, Papua Barat. Dalam pidatonya
Mendikbud Anies baswedan mengungkapkan “sebelum belajar, apa yang tampak
seperti garis-garis. Begitu belajar, garis-garis itu ternyata menjadi kata,
mengandung makna. Itulab makna belajar di dalam belajar kita semua harus
memposisikan sebagai pembelajar”. Tampak perbedaan ketika seseorang belum
belajar, sehingga tulisan yang sangat berarti cuma sekedar garis tanpa makna.
Tapi ketika kita belajar maka kita akan menemukan betapa berartinya garis
tersebut ketika memberikan makna.
Jabatan boleh ganti-ganti
posisi bisa berubah tetapi sifat dan kegiatan belajar harus jalan terus.
Tak pandang posisi dan tak pandang usia. Oleh karena itu kita semua sadar
kekayaan bahasa Indonesia kekayaan terbesar masyarakat papua tidak berada di
tanahnya tidak berada di airnya, tapi kekayaan terbesar masyarakat Papau ada di manusia.
Dahulu di masa penajajahan pengelola tanah ini melihat peta
indonesia sebagai peta sumber daya alam. Indondesia pandang tak lebih dari
tanah yang akann diambil minyaknya, hasil buminya dan mineralnya . Karena itu
seluruh Indonesia kondisinya sama.
Pada saat kita mau mandiri, yang melek huruf hanya 5%
sedang 95% masih buta huruf. Banyak gubernur
generasi pertama yang sekolah. Lalu anak-anak dari generasi pertama dikirim
sekolah. Dan ini terjadi diseluruh Indonesia . Jarang sekali ini terjadi di Indonesia
pada genarasi pertama. Sehingga ini menjadi kebanggan tersendiri untuk kita
sebagai generasi kedua.
Jangan merasa Papua merasa tidak punya masa depan, Papua
punya masa depan. Lihat daerah lain mereka bisa bangkit ketika keterpurukan dan
minim SDA. Papua bangkit mandiri dan kerja keras maka dari sini Indonesia akan
bangkit. Itu semua membutuhkan kerja keras dan semua perubahan tak ada yang
instan. Perubahan berlangsung sangat cepat tapi bukan instan dan itu seperti
yang di cita-citakan dalam revolusi mental.
Diceritakan pak Anies bahwa melek aksara tak hanya
diselenggarakan oleh pemerintah. Tahun 1947 bulan april di alun-alun Yogyakarta
presiden mencanangkan pemberantasan buta huruf. Dibelakangnya ada spanduk besar
sekali. Bertuliskan bantulan usaha memberantas buta huruf. Kata pertama yg
dipasang adalah bantulah. Hadir kami sebagai pemerintah bukan menyelesaikan
masalah. Pemerintan datang dengan mengatakan bantu kami memberantas buta huruf menjadi
sebuah gerakan semesta. Dimanapun itu baik di ruang tamu, garasi balai desa
menjadi tempat belajar. Semua orang yang bisa baca dan menulis turut turun tangan
membantu mengajar dan membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar