Senin, 11 Januari 2016

Anies Baswedan Syiah?


Dalam sebuah reuni, seorang teman menunjukkan sebuah tautan melalui ponselnya. Tautan itu berisi kumpulan tulisan yang menyatakan Anies Baswedan Syiah. Teman saya ingin tahu kebenarannya, mungkin karena tahu saya sudah lama bersama Mas Anies. Saya mengatakan kepadanya bahwa ini bukan kali pertama saya membaca tautan itu. Reaksi saya selalu sama: semua tudingan penulis bahwa Mas Anies 

Syiah itu tak dilengkapi fakta. Penulis itu hanya menyalin-tempel tulisan-tulisan tuduhan tentang Mas Anies dari sejumlah laman, yang laman-laman itu tak jelas identitas pengelolanya. (Oh ya, untuk mengetahui duduk perkara soal Anies dan JIL, sila baca tulisan saya Anies Baswedan JIL?)    


Saya menyebut tulisan-tulisan itu sebagai tuduhan karena satu hal: tanpa fakta. Tulisan itu hanya berdasarkan dugaan dan asumsi. Dalam jurnalisme, sesuatu disebut fakta bila memang benar-benar terjadi dan bisa diverifikasi kembali. Penulis laman-lama itu tak jelas, penulisnya juga tidak pernah menyebutkan identitas dirinya, yang berarti dia tidak ingin (atau tidak berani) bertanggung-jawab atas apa yang dia tulis.   

Dalam kaitan Mas Anies dan Syiah, apakah penulis mencantumkan fakta Mas Anies pernah mengucapkan bai'at untuk mengikuti Syiah atau melaksanakan ibadah tertentu seperti halnya yang kalangan Syiah lakukan? Sila baca semua tulisan itu, dan tidak ada satu pun tulisan yang menyodorkan fakta seperti itu. Semua tulisan adalah hasil rakitan atas potongan-potongan berita daring. Dari tulisan-tulisan itu terlihat nyata bahwa penulisnya tidak pernah memantau, mengamati apalagi berinteraksi dekat dengan Mas Anies. Mungkin ada yang berpendapat, bisa saja Mas Anies sedang ber-taqiyah. Justru di situ poinnya. Taqiyah adalah sikap rahasia, yang tahu hanya antara si pemegang taqiyah dan Allah. Bagaimana penulisnya tahu rahasia bahwa Mas Anies Syiah jika memantau dari dekat atau berinteraksi saja tak pernah. Kenal saja tidak. Mau kenal bagaimana, wong dia sendiri tak berani membuka identitasnya.   
   
Tulisan-tulisan yang menyebut Mas Anies Syiah itu umumnya menunjuk pada lima hal ini. Kita jawab satu per satu: 

1. Memberi panggung kepada Syiah di Paramadina Sebagai universitas, Paramadina memberikan ruang yang luas untuk membicarakan berbagai wacana. Mulai dari ekonomi sampai agama, mulai dari bioteknologi sampai kosmologi. Semuanya adalah kegiatan ilmiah. Terjadi perdebatan wacana, dan itu bagus untuk kemajuan keilmuan. Semua kalangan dan kelompok mendapatkan tempat di Paramadina. Untuk konteks agama, misalnya, Paramadina mengundang Emha Ainun Nadjib, KH Hasyim Muzadi dll, yang semuanya adalah sunni tulen. Di Paramadina pula Mas Anies pernah secara khusus mengundang Habib Umar al-Hafidz dari Yaman, seorang ulama penganjur ahlu sunnah, untuk berbicara di kampus. Nah, ini agak aneh, mengapa Mas Anies tak pernah mendapatkan label Sunni meski selalu menyajikan wacana tentang ahlu sunnah di Paramadina? Anies baswedan dan Habib Umar memberi kuliah umum di Univ. Paramadina 


2. Menarik buku pengayaan yang dianggap bermuatan ajaran Wahabi Sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mas Anies akan segera menarik buku bahan ajar apa pun bila materinya banyak yang salah. Buku-buku itu dicetak dan didistribusikan tahun 2013 dan 2014, sebelum Mas Anies menjadi Mendikbud. Ternyata ditemukan banyak sekali kekeliruan. Pada pelajaran agama memang menarik perhatian karena itu jadi perbincangan. Padahal kekeliruan itu terjadi di berbagai mata pelajaran, termasuk di mata pelajaran matematika, PKN, fisika atau biologi. Ini adalah contoh kecerobohan yang terjadi akibat penulis dan penelaah buku bekerja secara terburu-buru. Mereka semua mengejar waktu pendistribusian buku, karena Kemdikbud waktu itu berjanji melaksanakan kurikulum di semua sekolah pada bulan Juli 2014. Dampaknya nyata sekali, tidak ada kontrol kualitas yang baik. Jadi bukan hanya buku agama, tapi ada berbagai buku yang harus dikoreksi dan diperbaiki. Cuma karena materi bidang agama itu dipahami banyak orang, dan mudah memancing perhatian, maka muncullah dalam perbincangan hangat di media massa dan di sosial media. Sementara kekeliruan di bidang fisika atau biologi tak banyak diperbincangkan walau kekeliruan itu pun bisa fatal juga dampaknya bagi pemahaman anak didik. 

3. Berpendapat bahwa usia Syiah di Indonesia setua Islam di negeri ini Mas Anies pernah mengutarakan ini di sebuah seminar publik. Sebenarnya, ini bukan pendapat orisinil Mas Anies. Dia hanya mengutarakan ulang pendapat sejarawan. Siapa pun yang belajar sejarah Islam dan Indonesia, pasti akan menemukan pengetahuan bahwa kerajaan Islam pertama di negeri kepulauan ini adalah penganut Syiah: Samudera Pasai. Sila simak pendapat Slamet Muljana, sejarawan jempolan Indonesia, dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Apakah dengan mengatakan demikian Slamet Muljana disebut Syiah? Tak pernah ada tuduhan itu sampai sekarang. Jika pun pernyataan Mas Anies di ruang publik dikutip beberapa kalangan, ia memang bicara di ruang publik. Siapa pun bisa mengutip pendapatnya. Sebagai sarjana ia tak mungkin melarang siapa pun untuk mengutip pernyataan yang sudah menjadi pengetahuan umum. 

Tugasnya hanya memberikan informasi yang benar kepada khalayak. Tak lebih dari itu. Yang pasti, pendapatnya berdasarkan fakta sejarah. Soal serial kultwitnya yang seakan mendukung Syiah, tanpa diberikan konteksnya, saya cuma miris. Jangan sampai kita membaca ayat ke-4 dalam surat Al-Maun kemudian menyatakan bahwa orang yang shalat itu celaka. Waylun lil mushallin (Celakalah orang yang shalat). Kalau membaca hanya sampai ayat itu, kesimpulan kita bisa menyesatkan. 

Padahal, ada ayat lanjutannya (5-7): alladzina hum an shalatihim saahun, (Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya lalai), alladzina hum yuroun (yang berbuat ria), wa yamna’una al-ma’un (dan enggan memberikan bantuan). Mas Anies menuliskan kultwit itu terkait dengan peristiwa konflik berlatar belakang identitas (agama, suku, etnis dll) yang senantiasa berulang kembali di Indonesia. 

Dia mencoba melihat konflik itu dalam konteks yang lebih luas. Menurut pembacaannya, misalnya sentimen anti Islam di Eropa dan Amerika, sentimen anti-Ahmadiyah atau  anti-Syiah di Indonesia ini fenomena lama. Tapi muncul sebagai konflik keras, bahkan menjadi kekerasan, itu fenomena relatif baru, yang muncul beberapa waktu belakangan. Ada konteks geopolitiknya. 

Tak sekadar soal perbedaan teologi. Saat ini ada banyak daerah atau negara yang memiliki masyarakat muslim sebagai minoritas di wilayah berpenduduk mayoritas kristen, atau masyarakat beraliran sunni dan syiah, seperti Mesir, tapi kenapa tidak di semua tempat yang ada polarisasi berdasarkan agama dan keyakinan itu berubah jadi konflik atau kekerasan? Kultwit Mas Anies itu ingin mendudukkan konteks konflik agama belakangan di Indonesia dalam perspektif lebih luas. Bahkan saat terjadi pembakaran Masjid di Tolikara, Papua, artikel Mas Anies tentang Tenun Kebangsaan beredar luas. Artikel itu dipakai untuk menjelaskan pentingnya melindungi siapa saja, tanpa pandang ukuran minoritas dan mayoritas termasuk di Papua, di mana Muslim adalah penduduk minoritas. Artinya memang pikiran Mas Anies itu tidak semata-mata bicara soal minoritas kristen, muslim, Syiah, Suni, atau Ahmadiyah. Pikiran Mas Anies itu bisa digunakan untuk mengurai berbagai konflik berlatar belakang identitas agama atau keyakinan. Uniknya, para penulis itu tak pernah menyebut Mas Anies sedang membela minoritas muslim di Papua, walau artikelnya disebar dimana-mana saat kejadian pembakaran masjid di Tolikara.

 4. Anies selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjalin kerja sama dengan Iran? Faktanya: sampai sekarang tak ada kerja sama yang dimaksud. Silakan cek di Kemendikbud, di Sekretariat Negara atau di lembaga mana pun juga. Yang terjadi adalah Duta Besar Iran berkunjung ke Kemdikbud. Ini kunjungan biasa, seperti halnya kunjungan Duta Besar Jepang, Jerman, Australia, Organisasi Konferensi Islam, atau belasan Dubes lainnya. Indonesia menjalin kerja sama dengan banyak negara di dunia. Sebagai pejabat negara, Mas Anies memang sudah sewajarnya menerima kunjungan duta besar atau delegasi dari negara yang memiliki perwakilan resmi di Ibukota Indonesia. [Bersama Dubes Jepang] Anies Baswedan berbincang dengan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI) 



5. Anies Baswedan menyebarkan ajaran Syiah lewat pendidikan? Mudah saja jawabnya: Mana buktinya? Coba sebutkan dan buktikan satu saja tentang tuduhan ini. Dalam fikih, adalah kewajiban penuduh untuk memberikan bukti atas tuduhannya. Jika tak bisa memberikan bukti, diam itu lebih baik.   Mengenai sisanya, saya tak ingin berkomentar lebih lanjut. Argumen penulis tak tentu arah, seperti menggunakan jurus mabuk. Juga, sangat kental nuansa politisnya. Penulis menyalin-tempel tulisan-tulisan yang dibuat pada masa kampanye 2014. Padahal, kini sudah jauh dari tahun 2014.   Saya sendiri pernah tanya pada Mas Anies soal bagaimana menghadapi fitnah-fitnah itu. Dia menjawab dengan sederhana sekali, “Jangankan Mas Anies yang manusia biasa, Rasulullah yang jelas-jelas manusia teladan, uswatun hasanah, saja tidak berhenti diguyur fitnah terus. Ini ujian ikhlas, dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang.” Itulah penjelasan yang saya berikan pada teman itu. Dia sendiri akan ikut meneruskan penjelasan saya ke teman-temannya yang sebagian sudah termakan tulisan dalam tautan-tautan tak bertanggung jawab itu. Tapi dia juga mengusulkan, kenapa tidak ditulis saja semua penjelasan saya itu. Saya setuju, dan tulisan ini adalah wujud dari usulan itu. Semoga bermanfaat!   Penulis: M. Chozin Amirullah

Selengkapnya : 
http://www.kompasiana.com/chozin/anies-baswedan-syiah_568ce8838623bded1382db1e
http://mchozin.com/update/anies-baswedan-syiah/

Sabtu, 12 Desember 2015

Educode Sebagai Ajang Ciptakan Aplikasi Pendidikan dalam Waktu 24 Jam

Kali ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggelar ajang cipta aplikasi IT (hackathon) untuk bidang pendidikan dan ini adalah yang pertama kalinya. Ajang yang diberi nama Educode ini memberikan waktu selama 24 jam kepada pesertanya yang berada dalam satu tempat, untuk berlomba membuat aplikasi pendidikan.
Educode 2015 berlangsung selama dua hari, yaitu pada Sabtu-Minggu, 12-13 Desember 2015 di Plaza Insan Berprestasi Kemendikbud, Jakarta. Pada hari Sabtu (12/12/2015), para peserta mulai membuat aplikasi pendidikan terhitung pada pukul 12.00 WIB, dan diberi waktu hingga Minggu (13/12/2015), pukul 12.00 WIB. Semua aktivitas mereka selama berkompetisi ini dilakukan di Plasa Insan Berprestasi dan lingkungan sekitar Kantor Kemendikbud, Jakarta. Kemudian penjurian dan pengumuman pemenang akan berlangsung pada Minggu siang (13/12/2015).
Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom), Ari Santoso mengatakan, Tujuan Educode adalah mendorong partisipasi dan kontribusi publik di bidang pendidikan melalui penciptaan solusi berbasis IT.
"Visi Educode adalah mempertemukan supply & demand antara pembuat kebijakan (Kemendikbud), inovasi dari komunitas dan pengembang, guna menghasilkan solusi yang berguna bagi masyarakat," ujar Ari saat memberikan laporan dalam acara pembukaan Educode di Plasa Insan Berprestasi Kemendikbud, Jakarta, Sabtu pagi (12/12/2015). 
Saya sangat mengapresiasi para programmer atau developer yang mau turut serta dalam ajang ini, semoga kedepannya acara ini bukan cuma sekedar acara. Aplikasi yang tercipta oleh mereka bisa mampu dapat memberikan solusi-solusi dan inovasi teknologi Indonesia khususnya seputar pendidikan. Dalam era yang semakin modern saya kira inovasi-inovasi dan terobosan para developer sangatlah penting. 


Kamis, 12 November 2015

Kemendikbud Siapkan Mekanisme Komprehensip Dalam Penilaian UKG

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat ini sedang mematangkan mekanisme penilaian kinerja guru (PKG) yang komprehensif. PKG merupakan tindak lanjut dari uji kompetensi guru (UKG) dalam rangka menghasilkan potret kompetensi guru. "Nantinya, nilai UKG akan digabungkan dengan PKG, skor akhir kedua tes ini akan menjadi potret utuh kompetensi yang dimiliki seorang guru," kata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Sumarna Surapranata di Jakarta, Rabu (11/11) kemarin.

Sumarna Surapranata menjelaskan PKG akan dilaksanakan tahun depan. Skema ini menilai guru secara lebih menyeluruh, baik secara pengetahuan maupun kemampuan. "Karena orang yang jago dalam matematika belum tentu bisa mengajar matematika, yang mahir berbahasa Inggris belum tentu jago ngajar Bahasa Inggris," ujar pria yang akrab dipanggil Pranata tersebut.

Ada empat komponen penilai dalam PKG, lanjut Pranata, yaitu pengawas, kepala sekolah, siswa, komite sekolah. "Untuk guru sekolah menengah kejuruan (SMK), ada penilaian dari dunia usaha dan industri," kata Pranata.

Dalam PKG, penilaian dari siswa termasuk komponen yang penting. "Kenapa siswa? Siswa itu bisa tahu bila selama satu semester gurunya hanya ngasih soal atau hanya mencatat padahal bukunya sudah ada. Siswa bisa menilai itu," ujarnya. Siswa yang setiap hari berinteraksi dengan gurunya tentu bisa objektif memberikan penilaian.


Tujuan yang diharapkan dari UKG dan PKG adalah guru-guru Indonesia menjadi insan yang mau terus belajar. Untuk mendukung pembelajaran guru tersebut, Ditjen GTK tengah menyiapkan modul-modul yang akan diunggah ke laman Internet. "Yang dikejar adalah guru sebagai pembelajar, kalau gurunya mau belajar maka para siswa pun lebih mau lagi belajar," pungkasnya. (Nur Widiyanto)

Rabu, 11 November 2015

Pidato Anies Baswedan, Resmikan Gerakan Membaca di Papua

Papua, Jayapura 12 November 2015 dalam perayaan HAI 2015 (Hari Aksara International) yang diadakan di Jayapura, Papua Barat. Dalam pidatonya Mendikbud Anies baswedan mengungkapkan “sebelum belajar, apa yang tampak seperti garis-garis. Begitu belajar, garis-garis itu ternyata menjadi kata, mengandung makna. Itulab makna belajar di dalam belajar kita semua harus memposisikan sebagai pembelajar”. Tampak perbedaan ketika seseorang belum belajar, sehingga tulisan yang sangat berarti cuma sekedar garis tanpa makna. Tapi ketika kita belajar maka kita akan menemukan betapa berartinya garis tersebut ketika memberikan makna.

Jabatan boleh ganti-ganti  posisi bisa berubah tetapi sifat dan kegiatan belajar harus jalan terus. Tak pandang posisi dan tak pandang usia. Oleh karena itu kita semua sadar kekayaan bahasa Indonesia kekayaan terbesar masyarakat papua tidak berada di tanahnya tidak berada di airnya, tapi  kekayaan terbesar masyarakat  Papau ada di manusia.

Dahulu di masa penajajahan pengelola tanah ini melihat peta indonesia sebagai peta sumber daya alam. Indondesia pandang tak lebih dari tanah yang akann diambil minyaknya, hasil buminya dan mineralnya . Karena itu seluruh Indonesia kondisinya sama.

Pada saat kita mau mandiri, yang melek huruf hanya 5% sedang  95% masih buta huruf. Banyak gubernur generasi pertama yang sekolah. Lalu anak-anak dari generasi pertama dikirim sekolah. Dan ini terjadi diseluruh Indonesia . Jarang sekali ini terjadi di Indonesia pada genarasi pertama. Sehingga ini menjadi kebanggan tersendiri untuk kita sebagai generasi kedua.

Jangan merasa Papua merasa tidak punya masa depan, Papua punya masa depan. Lihat daerah lain mereka bisa bangkit ketika keterpurukan dan minim SDA. Papua bangkit mandiri dan kerja keras maka dari sini Indonesia akan bangkit. Itu semua membutuhkan kerja keras dan semua perubahan tak ada yang instan. Perubahan berlangsung sangat cepat tapi bukan instan dan itu seperti yang di cita-citakan dalam revolusi mental.

Diceritakan pak Anies bahwa melek aksara tak hanya diselenggarakan oleh pemerintah. Tahun 1947 bulan april di alun-alun Yogyakarta presiden mencanangkan pemberantasan buta huruf. Dibelakangnya ada spanduk besar sekali. Bertuliskan bantulan usaha memberantas buta huruf. Kata pertama yg dipasang adalah bantulah. Hadir kami sebagai pemerintah bukan menyelesaikan masalah. Pemerintan datang dengan mengatakan bantu kami memberantas buta huruf menjadi sebuah gerakan semesta. Dimanapun itu baik di ruang tamu, garasi balai desa menjadi tempat belajar. Semua orang yang bisa baca dan menulis turut turun tangan membantu mengajar dan membaca.